Warung Tegal

Siapa yang tak kenal warteg alias warung tegal? Warteg bisa ditemukan di mana saja. Di pinggir jalan, di sekitar kampus, di dekat proyek bangunan, terminal bus, stasiun kereta, area perkantoran, juga di sekitar pusat perbelanjaan mewah. Ciri khas makanannya yang akrab di lidah, enak, cepat, dan murah ini membuat warteg langgeng sejak tahun 1970-an.

Warteg Warmo yang berlokasi di Tebet Raya, Jakarta Selatan misalnya, masih bertahan sebagai warteg legendaris yang populer di Jakarta. Popularitasnya membuat siapa pun tak segan mampir makan di Warmo. Mulai dari pejabat, pengusaha kelas kakap, juga kalangan selebriti. Jadi tak heran para ”aktivis” clubbing pun tak risi makan di Warmo seusai dugem hingga subuh. Terlebih, Warmo buka 24 jam. Warteg—warung nasi yang lahir dari tangan para perantau asal Tegal—memang telah melebur dengan masyarakat Jakarta.

Warteg menjadi bilik yang egaliter di mana strata sosial apa pun berdampingan makan di satu kursi kayu panjang tanpa harus jaim (jaga image). Pada awal 1970-an ketika pembangunan di Jakarta tengah giat dimulai, kebutuhan akan warung nasi pun dimulai. Warung yang menyediakan makanan rumah sederhana dengan jumlah yang banyak tetapi harga tetap terjangkau ini cocok dengan kebutuhan para kuli bangunan. Begitu pula tukang becak hingga pedagang minyak tanah keliling perlu menambah tenaga dengan makan di warteg.

Seiring berjalannya waktu, warteg tidak hanya disambangi oleh kalangan ekonomi sulit. Kalangan dari seluruh strata sosial sudi makan di warteg. Bule pun kerap terlihat makan di warteg. Bahkan, warteg menjadi ”penopang perut” amat penting bagi kelas menengah pekerja kantoran di Jakarta yang butuh makan siang sehari-hari.

Pemilik Warteg Gewart Dago, yang terletak di kawasan Halim, Cililitan, Jakarta Timur, mengaku warungnya sering diketuk orang yang ingin sarapan. ”Sebenarnya warung buka pukul 07.00, tetapi sering sekali pembeli sudah datang pukul 06.00. Mau tidak mau ya dilayani, dia kan butuh sarapan,” kata Ahmad (30), anak Sopiah, pemilik Warteg Gewart Dago. Gewart merupakan singkatan dari Generasi Warung Tegal, sedangkan Dago adalah nama gang tempat mereka pertama kali berjualan di kawasan Halim itu.

Warteg 21 yang terletak di Jalan Tanah Mas Raya, Kayuputih, Pulo Gadung, Jakarta Timur, hanya libur tujuh hari dalam setahun. Mutinah (33), pengelola warteg, mengaku, wartegnya tidak bisa tutup karena pelanggan akan kesulitan mencari tempat makan. ”Di warteg, harga makanan murah. Zaman sekarang, semuanya mahal. Kalau makan tidak di warteg, gaji mana cukup,” kata Mutinah. Setiap hari Mutinah harus memasak 150 kilogram beras. Pada bulan Ramadhan, jumlah beras yang dimasak juga tetap sama. ”Setiap hari saya belanja keperluan warteg sampai Rp 4,5 juta. Puasa tidak puasa, belanjanya ya sama,” ujarnya.

Sejak pagi-pagi buta, mereka sudah berbelanja lalu langsung memasak. Gewart mempekerjakan tujuh orang yang tidak berhenti memasak dari pukul 04.00 hingga 12.00. Warteg 21 mempekerjakan lima orang juru masak. ”Masak tidak boleh berhenti biar masakan yang disajikan tetap hangat. Setelah sore, barulah memasak berdasarkan kebutuhan,” ujar Ahmad. Makanan yang paling favorit di Warteg Gewart adalah tempe goreng tepung. Setiap hari warteg ini menggoreng 100 hingga 120 lonjor tempe. Selain itu, sate udang goreng juga sangat digemari. ”Setiap hari tak kurang 15 kilogram udang dimasak. Pokoknya saya menyisihkan Rp 4 juta untuk belanja seluruh keperluan warteg,” ungkap Ahmad yang berbelanja kebutuhannya di Pasar Kramat Jati. Menurut Ahmad, setiap hari dia menyediakan lebih dari 40 macam masakan. Sementara Mutinah mengaku tidak tahu jumlah persis jenis makanan yang dia sediakan. ”Enggak pernah dihitung. Ayam saja ada empat macam, ayam goreng, ayam opor, ayam kecap, dan ayam pedas. Kalau 20 jenis sih lebih,” ujar Mutinah. Semua jenis makanan ini belum termasuk telur asin dan mentimun yang merupakan ciri khas warteg. Harga yang ditawarkan memang sangat murah. Untuk nasi, sayur, dengan lauk udang dan tempe, Mutinah hanya mengenakan Rp 6.000. Nasi sayur udang dan telur hanya Rp 7.000. Lalu nasi sayur dengan lauk ayam hanya Rp 10.000, sudah termasuk teh tawar hangat. Sementara di Gewart harga nasi sayur udang hanya Rp 5.000, sedangkan nasi ayam hanya Rp 7.500. Harga ini sudah termasuk teh tawar hangat. ”Murah meriah,” kata Ahmad.

Beragam jenis makanan dan murahnya harga tentu menjadi daya tarik warteg. Orang yang makan di warteg tidak mencari pendingin udara, bangku yang empuk, dan interior yang didesain khusus. Mereka nyaman makan berdesak-desakan dengan orang tak dikenal di atas bangku kayu panjang. Mereka juga tidak keberatan, setelah selesai makan, hanya punya waktu beberapa menit untuk menurunkan makanan sebelum wajah-wajah kelaparan mengusir mereka. Baik Mutinah maupun Ahmad mengaku tidak mengetahui secara persis jumlah pengunjung di wartegnya. Yang pasti, baik Ahmad maupun Mutinah harus mempekerjakan 10 orang untuk melayani pembeli. Namun, jika dihitung secara kasar, jumlah pengunjung bisa diperkirakan. Jika dalam 20 menit rata-rata ada 10 orang makan di warteg, maka dalam sehari sekitar 450 orang makan di warteg. Doni, penjaga parkir di Warteg Gewart Dago, mengaku rata-rata mendapatkan uang Rp 50.000-Rp 65.000 hanya dari pukul 11.00 sampai 14.30. Dalam sehari, pengaturan parkir dibagi tiga shift. Setiap shift ada dua juru parkir. Warteg bolehlah disebut pahlawan bagi kaum urban Jakarta, yang bekerja memeras otak dan otot hingga petang. Roda ekonomi negeri pun berputar, dari mana tenaga para pekerja itu? Ya dari warteg.

Sumber :
http://sen0b43.wordpress.com/tag/warung-tegal/

0 komentar:

Tari Lawet

Tari lawet merupakan tarian yang berasal dari daerah Kebumen. Pencipta tarian tersebut ialah B. Sardjoko yang lahir di Klaten tanggal 4 Agustus 1949. Beliau adalah anak terakhir dari lima bersaudara. B. Sardjoko sering mengikuti pentas wayang kulit. Ibunya seorang penari Topeng. Sekarang mereka tinggal di Jl.Cincin kota, Ds. Karang Sari, Kebumen.
 
Tari lawet diciptakan pada bulan Februari 1989 karena bupati menghendaki pembukaan Jambore Daerah tingkat Jateng di Widoro berupa tari masal dari Kebumen yang ditarikan kurang lebih dua ratus orang penari.
Sebelum membuat, beliau melakukan survei ke Karang Bolong untuk mendapatkan inspirasi. Beliau melihat air samudra, orang yang sedang memanjat, gerak lincah burung Lawet yang sedang terbang, bupati Amin Soedibyo menetapkan tari lawet wajib menjadi mulok bagi SD, namun pada tahun 2000 peraturan itu dihapus.
Tari lawet pertama kali dipentaskan diwidoro pada tanggal 31 Agustus 1989. Tari Lawet pernah dipentaskan di lapangan pemandian air panas Krakal, Alian, di alun-alun Kebumen tahun 1994,di Stadion Candradimuka, di Semarang, di TMII, dan pernah dilombakan di alun-alun Kebumen pada tahun 1990 yang diikuti beberapa regu yang masing-masing regunya lima penari. B. Sardjoko mendapatkan penghargan sebagai pencipta tari lawet pada tahun 1996.
Burung lawet termasuk lambang kebanggaan Kebumen yang dapat menghasilkan sarang burung lawet yang harganya sangat mahal. Gerakan tari lawet lincah dan ceria, sesuai dengan burung lawet tersebut. Makna tari lawet yaitu menggambarkan kehidupan burung yang berusaha hidup untuk mencari makan sehari-hari.
Gerakan tari lawet meliputi :
1. Ngulet/angklingan;
2. Didis;
3. Loncat egot;
4. Lenggut;
5. Ukel nyutuk;
6. Lincah nyucuk;
7. Kepetan.

B. Sardjoko merancang kostum tarian lawet sendiri. Kostum tarian lawet yang lengkap sebagai berikut :
1. Jamang dan Garuda Mungkur
    -berbentuknya burung lawet, warnanya kuning emas.
2. Baju
    -berwarna hitam dibagian depan berseret putih
3. Celana
    -berwarna hitam
4. Sayap
    -berwarna hitam bergambar bulu
5. Kalung Kace
    -berwarna dasarnya merah dihiasi dengan warna kuning emas
6. Stagen/benting/sabuk berwarna Merah
7. Slepe
    -berwarna dasarnya merah dihiasai kuning emas
8. Ancal
    -berwarna dasarnya merah dihiasi kuning emas
9. Rampek
    -berwarna biru, menggambarkan pancaran air laut
10. Sonder
     -berwarna putih, garis tepinya biru, bergambar lekukan bagaikan gelombang laut
11. Ringgel/gelang kaki
      -berwarna kuning emas
Musik iringan tari lawet disebut Lawet Aneba (Laras Pelog Patet Barang). Berikut adalah syairnya :
bambang wetan pratandha wis gagat enjang. 
Sesamberana rebut marga mbarubut saking gua Karang bolong 
peksi lawet ireng menges wulune 
cukat trengginas katon gembira aneg luhuring samudra
gung ngupa boga tumekaning surya 
anda lidir pra lawet bali maring gua.


Syair tersebut menceritakan tentang burung Lawet pada waktu bangun tidur lalu keluar gua untuk mencari makan. B. Sardjoko berharap agar tari lawet bisa berkembang pesat di Kebumen dan banyak disukai masyarakat, terutama anak putri.


Sumber :
http://khasan.blogdetik.com/tari-lawet

0 komentar:

Sejarah Batik

Sejarah pembatikan di Indonesia berkait erat dengan perkembangan kerajaan Majapahit dan penyebaran ajaran Islam di Tanah Jawa. Dalam beberapa catatan, pengembangan batik banyak dilakukan pada masa-masa kerajaan Mataram, kemudian pada masa kerjaan Solo dan Yogyakarta.

Jadi kesenian batik ini di Indonesia telah dikenal sejak zaman kerjaan Majapahit dan terus berkembang kepada kerajaan dan raja-raja berikutnya. Adapun mulai meluasnya kesenian batik ini menjadi milik rakyat Indonesia dan khususnya suku Jawa ialah setelah akhir abad ke-XVIII atau awal abad ke-XIX. Batik yang dihasilkan ialah semuanya batik tulis sampai awal abad ke-XX dan batik cap dikenal baru setelah perang dunia kesatu habis atau sekitar tahun 1920. Adapun kaitan dengan penyebaran ajaran Islam. Banyak daerah-daerah pusat perbatikan di Jawa adalah daerah-daerah santri dan kemudian Batik menjadi alat perjaungan ekonomi oleh tokoh-tokoh pedangan Muslim melawan perekonomian Belanda.

Kesenian batik adalah kesenian gambar di atas kain untuk pakaian yang menjadi salah satu kebudayaan keluaga raja-raja Indonesia zaman dulu. Awalnya batik dikerjakan hanya terbatas dalam kraton saja dan hasilnya untuk pakaian raja dan keluarga serta para pengikutnya. Oleh karena banyak dari pengikut raja yang tinggal diluar kraton, maka kesenian batik ini dibawa oleh mereka keluar kraton dan dikerjakan ditempatnya masing-masing.

Lama-lama kesenian batik ini ditiru oleh rakyat terdekat dan selanjutnya meluas menjadi pekerjaan kaum wanita dalam rumah tangganya untuk mengisi waktu senggang. Selanjutnya, batik yang tadinya hanya pakaian keluarga kraton, kemudian menjadi pakaian rakyat yang digemari, baik wanita maupun pria. Bahan kain putih yang dipergunakan waktu itu adalah hasil tenunan sendiri.

Sedang bahan-bahan pewarna yang dipakai tediri dari tumbuh-tumbuhan asli Indonesia yang dibuat sendiri antara lain dari: pohon mengkudu, tinggi, soga, nila, dan bahan sodanya dibuat dari soda abu, serta garamnya dibuat dari tanahlumpur.


Jaman Majapahit

Batik yang telah menjadi kebudayaan di kerajaan Majahit, pat ditelusuri di daerah Mojokerto dan Tulung Agung. Mojoketo adalah daerah yang erat hubungannya dengan kerajaan Majapahit semasa dahulu dan asal nama Majokerto ada hubungannya dengan Majapahit. Kaitannya dengan perkembangan batik asal Majapahit berkembang di Tulung Agung adalah riwayat perkembangan pembatikan didaerah ini, dapat digali dari peninggalan di zaman kerajaan Majapahit. Pada waktu itu daerah Tulungagung yang sebagian terdiri dari rawa-rawa dalam sejarah terkenal dengan nama daerah Bonorowo, yang pada saat bekembangnya Majapahit daerah itu dikuasai oleh seorang yang benama Adipati Kalang, dan tidak mau tunduk kepada kerajaan Majapahit.

Diceritakan bahwa dalam aksi polisionil yang dilancarkan oleh Majapahati, Adipati Kalang tewas dalam pertempuran yang konon dikabarkan disekitar desa yang sekarang bernama Kalangbret. Demikianlah maka petugas-petugas tentara dan keluara kerajaan Majapahit yang menetap dan tinggal diwilayah Bonorowo atau yang sekarang bernama Tulungagung antara lain juga membawa kesenian membuat batik asli.

Daerah pembatikan sekarang di Mojokerto terdapat di Kwali, Mojosari, Betero dan Sidomulyo. Diluar daerah Kabupaten Mojokerto ialah di Jombang. Pada akhir abad ke-XIX ada beberapa orang kerajinan batik yang dikenal di Mojokerto, bahan-bahan yang dipakai waktu itu kain putih yang ditenun sendiri dan obat-obat batik dari soga jambal, mengkudu, nila tom, tinggi dan sebagainya.

Obat-obat luar negeri baru dikenal sesudah perang dunia kesatu yang dijual oleh pedagang-pedagang Cina di Mojokerto. Batik cap dikenal bersamaan dengan masuknya obat-obat batik dari luar negeri. Cap dibuat di Bangil dan pengusaha-pengusaha batik Mojokerto dapat membelinya dipasar Porong Sidoarjo, Pasar Porong ini sebelum krisis ekonomi dunia dikenal sebagai pasar yang ramai, dimana hasil-hasil produksi batik Kedungcangkring dan Jetis Sidoarjo banyak dijual. Waktu krisis ekonomi, pengusaha batik Mojoketo ikut lumpuh, karena pengusaha-pengusaha kebanyakan kecil usahanya. Sesudah krisis kegiatan pembatikan timbul kembali sampai Jepang masuk ke Indonesia, dan waktu pendudukan Jepang kegiatan pembatikan lumpuh lagi. Kegiatan pembatikan muncul lagi sesudah revolusi dimana Mojokerto sudah menjadi daerah pendudukan.

Ciri khas dari batik Kalangbret dari Mojokerto adalah hampir sama dengan batik-batik keluaran Yogyakarta, yaitu dasarnya putih dan warna coraknya coklat muda dan biru tua. Yang dikenal sejak lebih dari seabad yang lalu tempat pembatikan didesa Majan dan Simo. Desa ini juga mempunyai riwayat sebagai peninggalan dari zaman peperangan Pangeran Diponegoro tahun 1825.

Meskipun pembatikan dikenal sejak jaman Majapahait namun perkembangan batik mulai menyebar sejak pesat didaerah Jawa Tengah Surakarta dan Yogyakata, pada jaman kerajaan di daerah ini. Hal itu tampak bahwa perkembangan batik di Mojokerto dan Tulung Agung berikutnya lebih dipenagruhi corak batik Solo dan Yogyakarta.

Didalam berkecamuknya clash antara tentara kolonial Belanda dengan pasukan-pasukan pangeran Diponegoro maka sebagian dari pasukan-pasukan Kyai Mojo mengundurkan diri kearah timur dan sampai sekarang bernama Majan. Sejak zaman penjajahan Belanda hingga zaman kemerdekaan ini desa Majan berstatus desa Merdikan (Daerah Istimewa), dan kepala desanya seorang kiyai yang statusnya Uirun-temurun.Pembuatan batik Majan ini merupakan naluri (peninggalan) dari seni membuat batik zaman perang Diponegoro itu.

Warna babaran batik Majan dan Simo adalah unik karena warna babarannya merah menyala (dari kulit mengkudu) dan warna lainnya dari tom. Sebagai batik setra sejak dahulu kala terkenal juga didaerah desa Sembung, yang para pengusaha batik kebanyakan berasal dari Sala yang datang di Tulungagung pada akhir abad ke-XIX. Hanya sekarang masih terdapat beberapa keluarga pembatikan dari Sala yang menetap didaerah Sembung. Selain dari tempat-tempat tesebut juga terdapat daerah pembatikan di Trenggalek dan juga ada beberapa di Kediri, tetapi sifat pembatikan sebagian kerajinan rumah tangga dan babarannya batik tulis.


Jaman Penyebaran Islam

Riwayat pembatikan di daerah Jawa Timur lainnya adalah di Ponorogo, yang kisahnya berkaitan dengan penyebaran ajaran Islam di daerah ini. Riwayat Batik. Disebutkan masalah seni batik didaerah Ponorogo erat hubungannya dengan perkembangan agama Islam dan kerajaan-kerajaan dahulu. Konon, di daerah Batoro Katong, ada seorang keturunan dari kerajaan Majapahit yang namanya Raden Katong adik dari Raden Patah. Batoro Katong inilah yang membawa agama Islam ke Ponorogo dan petilasan yang ada sekarang ialah sebuah mesjid didaerah Patihan Wetan.

Perkembangan selanjutanya, di Ponorogo, di daerah Tegalsari ada sebuah pesantren yang diasuh Kyai Hasan Basri atau yang dikenal dengan sebutan Kyai Agung Tegalsari. Pesantren Tegalsari ini selain mengajarkan agama Islam juga mengajarkan ilmu ketatanegaraan, ilmu perang dan kesusasteraan. Seorang murid yang terkenal dari Tegalsari dibidang sastra ialah Raden Ronggowarsito. Kyai Hasan Basri ini diambil menjadi menantu oleh raja Kraton Solo.

Waktu itu seni batik baru terbatas dalam lingkungan kraton. Oleh karena putri keraton Solo menjadi istri Kyai Hasan Basri maka dibawalah ke Tegalsari dan diikuti oleh pengiring-pengiringnya. disamping itu banyak pula keluarga kraton Solo belajar dipesantren ini. Peristiwa inilah yang membawa seni bafik keluar dari kraton menuju ke Ponorogo. Pemuda-pemudi yang dididik di Tegalsari ini kalau sudah keluar, dalam masyarakat akan menyumbangkan dharma batiknya dalam bidang-bidang kepamongan dan agama.

Daerah perbatikan lama yang bisa kita lihat sekarang ialah daerah Kauman yaitu Kepatihan Wetan sekarang dan dari sini meluas ke desa-desa Ronowijoyo, Mangunsuman, Kertosari, Setono, Cokromenggalan, Kadipaten, Nologaten, Bangunsari, Cekok, Banyudono dan Ngunut. Waktu itu obat-obat yang dipakai dalam pembatikan ialah buatan dalam negeri sendiri dari kayu-kayuan antara lain; pohon tom, mengkudu, kayu tinggi. Sedangkan bahan kainputihnyajugamemakai buatan sendiri dari tenunan gendong. Kain putih import bam dikenal di Indonesia kira-kira akhir abad ke-19.

Pembuatan batik cap di Ponorogo baru dikenal setelah perang dunia pertama yang dibawa oleh seorang Cina bernama Kwee Seng dari Banyumas. Daerah Ponorogo awal abad ke-20 terkenal batiknya dalam pewarnaan nila yang tidak luntur dan itulah sebabnya pengusaha-pengusaha batik dari Banyumas dan Solo banyak memberikan pekerjaan kepada pengusaha-pengusaha batik di Ponorogo. Akibat dikenalnya batik cap maka produksi Ponorogo setelah perang dunia petama sampai pecahnya perang dunia kedua terkenal dengan batik kasarnya yaitu batik cap mori biru. Pasaran batik cap kasar Ponorogo kemudian terkenal seluruh Indonesia.

Sumber :
http://www.jabarprov.go.id/index.php/subMenu/300

0 komentar:

Sejarah Pemakaian Bambu Runcing

Hanya dengan bambu runcing, Indonesia mampu mengusir penjajah. Demikian slogan kemerdekaan yang sering kita dengar. Namun tahukah anda dibalik itu semua terdapat peran besar sosok ulama dengan keyakinan Jihad Fii Sabilillah yang begitu lurus dan murni, Tawakkal Ilallah.
Dia adalah Kiai Subchi, seorang ulama yang sangat tawadhu dikalangan masyarakat Parakan Temanggung, Jawa Tengah. Sosok ulama yang satu ini sangat dihormati masyarakat sekitar. Kiai Subchi setiap hari berkeliling kampung mengajar ngaji dan menjadi penyuluh pertanian. Bila ada satu persoalan, masyarakat sering mendatanginya untuk mencari solusi.
Seperti halnya orang-orang yang bersih kehidupannya, maka Kiai Subchi dianugerahi Allaahu Subhanahu waTaála mata bathin yang sangat peka, sehingga ditahun 1941, dia mengumpulkan para santri dan pemuda desa untuk mengadakan persiapan perang. Padahal pada saat itu situasi masih relative aman. Jepang belum masuk Jawa. Hadir dalam pertemuan tersebut Kiai Noer (Putera Kiai Subchi) dan lurah Masúd (Adik Kiai Subchi). Dalam pertemuan tersebut dibentuk pasukan Hizbullah-Sabilillah di bawah pimpinan Kiai Subchi. Pasukan yang baru dibentuk ini mengalami kendala dalam hal persenjataan. Yang ada baru pedang, golok, klewang, keris, tombak dan sebagainya. Namun senjata-senjata ini pun terbatas dimiliki warga. Sebab itu, Kiai Noer mengusulkan agar pasukan yang baru dibentuk itu dipersenjatai dengan cucukan (bambu yang diruncingkan ujungnya). Dengan alasan bambu mudah diperoleh di mana-mana dan mudah membuatnya. Selain itu, luka yang diakibatkan oleh tusukan cucukan juga lebih parah akibatnya sehingga sulit di obati.
bambu runcingUsul ini akhirnya diterima secara mufakat. Hanya saja, menurut Kiai Subchi masih ada kendala, yakni bagaimana membuat rakyat bersemangat dan yakin jika hanya dengan bersenjatakan cucukan, bisa menghadapi musuh dan meraih kemenangan. Maka tidak ada jalan lain, Kiai Subchi pun mengumpulkan pasukan dengan bersenjatakan cucukan ini dan kemudian dengan penuh keyakinan, Kiai Subchi memanjatkan doá agar Allah Subhanahu WaTaála memberikan kekuatan istimewa kepada pasukan cucukan ini. Doá itu berbunyi Laa Tudrikhuhul Absar Wahuwa Tudhrikuhul Absar Wahuwa Latiful Kabir, dengan tiga kali membaca sembari menahan nafas. Disebabkan charisma yang dimiliki Kiai Subchi, para pemuda dengan senjata cucukan ini akhirnya bersemangat dan yakin jika senjata baru ini memiliki keistimewaan yang dahsyat. Hal ini akhirnya menjadi satu “ritual” yang tidak dilewatkan, setiap ada pasukan baru dengan senjata cucukan, mereka pasti mendatangi Kiai Subchi untuk meminta doákan.
Setahun setelah firasat Kiai Subchi, Jepang pun datang dan pecah perang besar antara Belanda melawan Jepang. Pasukan Jepang pernah ingin menguasai Parakan, namun dihadang oleh Pasukan Bambu Runcing Kiai Subchi. Dan akhirnya Jepang pun mengurungkan niatnya ke Parakan dan meneruskan geraknya ke Wonosobo. Kabar keberhasilan pasukan cucukan Kiai Subchi menghalau pasukan Jepang ini menjadi buah bibir pasukan lainnya.
Setelah Proklamasi Kemerdekaan, Magelang masih diduduki Jepang. Pasukan Hizbullah dari daerah Parakan dan daerah Kedu bersatu untuk mengusir Jepang dari Magelang. Dalam pertempuran tersebut  Jepang terlihat sangat ketakutan menghadapi pasukan cucukan yang di pimpin Kiai Subchi. Hal ini menaikan pamor senjata cucukan atau Bambu Runcing.
Sejak itulah, seiring naiknya pamor cucukan, maka sosok Kiai Subchi pun menjadi terkenal. Apalagi pasukannya juga berhasil memukul mundur pasukan Gurkha dari Magelang hingga ke Semarang. Para pejuang kemerdekaan pun berduyun-duyun datang ke Parakan, lengkap dengan bambu runcingnya, untuk menemui Kiai Subchi dan meminta doá nya. Para pejuang itu datang dari Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta sampai kawasan Banyuwangi, dengan naik kereta api yang penuh sesak dengan bambu runcing. Sejak saat itu bambu runcing telah menjadi senjata Jihad Fii Sabilillah yang terkenal keampuhannya. Bambu Runcing  yang dipakai Kiai Subchi sendiri menjadi legenda. Bahkan di minta oleh Museum ABRI untuk dijadikan koleksi bersejarahnya. Putera Kiai Subchi, Kiai Haji Noer mengatakan, “nama semula bukan bambu runcing, tapi cucukan. Sedangkan nama bambu runcing ini baru-baru saja.”

Sumber :  
Ahmad Adaby Darban (dalam, http://kangudo.wordpress.com/2013/08/18/sejarah-awal-senjata-bambu-runcing)

2 komentar:

Copyright © 2013 Kelompok 5 PTI Universitas Pendidikan Indonesia.